Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2014

Ngalorngidul

Suatu hari berkenalan dengan seseorang, lalu lanjut menyatroni hidupnya lama. Jadi seorang teman, teman baik, teman dekat, teman tidak baik, tidak dekat, sampai jadi teman yang paling tidak ingin ditemui. Hubungan kami kini baik, dahulu aku kagumi ia, kini pun . . . Ia ramah, tak banyak bicara, lucu, banyak berteman, dan sangat banyak berpikir. Aku tidak merasa bahwa aku bodoh, namun melihat dan mendengarnya, ya . . aku tidak cerdas.  Ia tidak banyak menjelaskan, tapi sekali lagi . . . ia banyak berpikir.  Orang orang tak banyak mendengarkan ia . . . tapi ia banyak memikirkan orang orang.  Aku tersenyum setiap kali ia berusaha menjelaskan, kadang lancar, kadang terbata bata . . . kadang juga tak menjelaskan dengan lancar dan lantang karena begitu sensitif dengan garis kening lawan bicara yang menunjukkan kurang paham. Tapi saat itu, ia berusaha keras. Aku tahu . .  Sekali ia diberi bahasan untuk dipikirkan, ia akan disana untuk waktu yang cukup lama, berpikir . . . Saa

Kami

Masih teringat suatu hari 5 tahun yang lalu,  "Na, ada yang nawarin UNPAD-Hubungan Internasional 40 juta. Mau ga? Kalau mau nanti abak cariin uangnya," kata abak dengan excited dan berbinar binar. Kami tinggal di sebuah rumah dengan 2 kamar tidur, satu buah ruang serbaguna untuk menerima tamu, makan, juga persiapan memasak (dulu lantai dapur tempat kami memasak, lantai yang bawahnya adalah paralon saluran air dari kamar mandi retak, jadi tak bisa mempersiapkan makanan di dapur, dapur hanya jadi tempat menggoreng.  "40 juta bak?," aku mengkonfirmasi. Tak begitu heran dengan angka untuk sebuah kursi di perguruan tinggi, kisarannya memang segitu yang sering ku dengar, yang mengherankan adalah seorang abak sedang menawarkan menukar peluhnya dengan kursi itu. Aku tersenyum terharu, berarti dia begitu mendengarkan celotehku tentang cita cita menjadi seorang diplomat.  Bukan so'baik, tapi itu memang nilai yang terlalu besar untuk abak perjuangkan atas seoran

Rana dan Kakak

“Ibu, aku juga mau beli yang seperti kakak . . ., “ kata Rana sambil menarik baju ibunya ke Syaamil Quran. “Apa sayang? ” jawab ibu sabar. Rana menunjuk Alquran yang baru dibelikan ibu untuk kakak sebagai hadiah tamat IQRO 6. Warnanya pink, ada terjemahan juga di dalammya. Rana tampaknya begitu tertarik dengan Alquran manis milik kakaknya itu. “Rana kan masih IQRO 3, tamatkan dulu sampai IQRO 6, nanti ibu belikan. Oke?” jawab ibu membujuk. Rana sedih, matanya mulai berair. “Tapi nilai IQRO Rana kan bagus terus, sebentar lagi pasti IQRO 6,” jawab Rana. Ibu hanya tersenyum, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri mall. Rana juga ikut berjalan sambil mengusap air matanya. “Nih, bawain Alquran baru kakak, nanti kakak pinjemin kalau Rana udah bisa bacanya, ” kata kakak sambil menyodorkan keresek berisi Alquran yang baru ia beli. Rana cukup senang, sedihnya terobati karena bisa memegang Alquran cantik milik kakaknya. “Alqurannya mau kakak bawa ke sekolah?, ” ta